Techverse.asia - Pendanaan untuk perusahaan rintisan atau startup di bidang direct-to-consumer (D2C) di kawasan Asia Tenggara pada tahun lalu tercatat mengalami kenaikan, yang nominal investasinya sendiri mencapai US$32,5 juta atau setara dengan Rp547,1 miliar.
Angka ini naik US$10,6 juta atau sekitar 208 persen pada 2023. Bahkan saat ekosistem teknologi di kawasan tersebut secara keseluruhan pendanaannya anjlok lebih dari 55 persen selama periode yang sama.
Berdasarkan laporan terbaru yang dipublikasi oleh Tracxn - platform intelijen data - secara global pendanaan startup D2C menurun sebesar 25 persen menjadi US$3,9 miliar pada 2024 dari US$5,3 miliar pada tahun sebelumnya, yang membuat tahun 2024 sebagai momen pendanaan paling sedikit dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
Baca Juga: Kopi Kenangan Buka Gerai di India dan Australia, Segera Hadir Juga di Taiwan
Sebaliknya, pemulihan di Asia Tenggara pada tahun lalu menyoroti ketahanan dan kekuatan yang muncul sebagai pusat bagi merek D2C. Tapi, terlepas dari pemulihan tersebut, tingkat pendanaan di Asia Tenggara masih 75 persen di bawah US$128 juta yang terkumpul pada 2022.
Walau sedang menghadapi krisis global, sektor startup D2C Asia Tenggara telah menunjukkan pertumbuhan, yang juga didukung oleh meningkatnya investasi manufaktur serta kebijakan yang menguntungkan.
Kelincahan iklim yang mendukung ekspansi kawasan Asia Tenggara terus menjadikannya ruang yang punya prospek cerah bagi brand-brand digital.
Masih menurut laporan Tracxn, sektor startup D2C Asia Tenggara mengalami lonjakan pendanaan yang lebih stabil dari tahun 2019 sampai tahun 2022. Namun, setelah itu mengalami penurunan, yang mencerminkan tren global, tapi pada 2024 justru terjadi kenaikan yang signifikan.
Baca Juga: 7 Tips dari Para CEO Startup D2C untuk Pahami Perilaku Konsumen dan Kuasai Pasar
Petumbuhan ini utamanya berkat putaran pendanaan tahap akhir yang jumlahnya menyentuh angka US$19,5 juta, usai absen sepenuhnya pada 2023.
Pendanaan tahap seed di Asia Tenggara ini melonjak sampai 300 persen menjadi US$3 juta pada 2024, sementara pada 2023 jumlahnya cuma US$740 ribu, sedangkan pendanaan tahap awal D2C tetap stabil dengan nilai US$10 juta.
Di kawasan ini, Singapura memimpin peroleh pendanaan regional dengan total US$19,5 juta pada 2024. Lalu diikuti oleh Kota Hanoi, Vietnam, sebesar US$6 juta dan Kota Jakarta, Indonesia sebesar US$4 juta.
Adapun perusahaan rintisan yang membukukan pendanaan paling besar sepanjang 2024 adalah The Ayuverda Experience asal Negeri Singa yang mengantongi pendanaan seri C sebesar US$15 juta, kemudian diikuti oleh startup asal Negeri Naga Biru yaitu CoolMate dengan putaran pendanaan sebesar US$6 juta.
Baca Juga: Sukses Jual Polis di Thailand dan Vietnam, PasarPolis akan Ekspansi ke Singapura
Sementara itu, pendanaan di sektor ritel, segmen marketplace daring mendapat pendanaan US$61 juta pada 2024, dua kali lipat jumlah investasi yang didapat oleh segmen D2C. Untuk di sektor commerce enabler sendiri mengumpulkan pendanaan sebesar US$164 juta, memimpin sektor ritel konsumen.
Sebaliknya, commerce enabler pada 2023 telah memuncaki pendanaan senilai US$327 juta, yang disusul oleh marketplace daring sebesar US$252 juta.
Pada segmen D2C Asia Tenggara, startup kecantikan dan mode telah sukses menarik minat investor yang konsisten, dengan kecantikan melihat investasi berulang tertinggi. Perusahaan modal ventura seperti AC Ventures, Accel, dan Jungle Ventures menunjukkan dukungan berulang, khususnya di Tanah Air dan Singapura.
Ketiga perusahaan modal ventura itu terus menunjukkan minatnya yang kuat untuk berinvestasi di startup-startup yang ada di Asia Tenggara. Selain itu, pendanaan di tahap seed, investor yang aktif termasuk Init6, 500 Global, dan First Move Fund. Di tahap awal ada investor Unilever Ventures serta Vertex Ventures.
Baca Juga: Starcamp Ganti Nama Jadi Starventure, Kini Fokus Bantu Startup Tahap Awal Temukan Nilai Tambah