Techverse.asia - Melalui film Legenda Kelam Malin Kundang, rumah produksi film Come and See Pictures menjajal eksplorasi tema dan genre baru tentang cerita rakyat (folklore) dari Sumatra Barat yang mana seorang anak dikutuk menjadi batu karena durhakan pada ibunya.
Skenario film ini ditulis oleh Joko Anwar, sementara sutradaranya adalah Kevin Rahardjo dan Rafki Hidayat.
Premis Legenda Kelam Malin Kundang berfokus pada seorang micro-painter bernama Alif yang diperankan oleh Rio Dewanto. Ia menjadikan batu kecil sebagai medium lukisnya. Namun, suatu hari ia mengalami kecelakaan lalu lintas yang membuatnya amnesia.
Setelah kejadian itu, ibu Alif datang dari kampung halaman untuk menjenguknya. Pertemuan ini ternyata menguak luka lama yang pernah dialami oleh Alif dan menimbulkan keraguan bahwa perempuan paruh baya tersebut adalah ibu kandungnya yang selama ini ia cari.
Baca Juga: Review Pengepungan di Bukit Duri: Beri Ingatan Kolektif atas Peristiwa Kelam Bangsa Indonesia?
Film berdurasi hampir dua jam ini babak awalnya dibuka dengan alur yang lambat. Meski begitu, rasa tegang dan intens dapat tersampaikan dengan baik kepada audiens. Ini diperlukan karena genre yang diusung Legenda Kelam Malin Kundang adalah psychological-thriller.
Pace awal film yang terasa slow dibangun untuk memberi penjelasan tentang apa yang sebenarnya menimpa Alif. Tapi hal ini bisa membuat penonton merasa bosan karena kurangnya elemen-elemen kejutan yang disisipkan yang dapat membuat tercengang.
Baru di akhir babak film pace-nya terasa sangat cepat, alhasil fakta-fakta yang sebenarnya terjadi pada Alif disampaikan secara tergesa-gesa. Sehingga ketika penonton belum selesai memahami kisah kelam masa lalu Alif, mereka diajak untuk langsung berpindah ke adegan-adegan berikutnya.
Mungkin kalau durasinya agak lebih lama, akan memberi ruang eksplorasi yang pas guna menampilkan fakta-fakta yang ada. Sementara itu, akting para pemeran lainnya yakni Nova Eliza, Faradina Mufti, Vonny Anggraini, dan Jordan Omar terasa sangat sinkron dan natural dalam memerankan karakternya masing-masing.
Baca Juga: Sinopsis Serial Pluribus Resmi Tayang di Apple TV Plus, Disutradari Vince Gilligan
Faradina yang menjadi istri Alif tampil menjadi seorang ibu yang merahasiakan sesuatu dan terasa 'asing' dari suaminya itu, mulai dari awal sampai akhir film. Sedangkan, Jordan Omar yang berperan menjadi Emir (anak dari Rio dan Faradina) tampil tanpa beban walau beradu akting dengan para artis senior.
Tak ketinggalan, Nova Eliza sang aktris senior enggak perlu diragukan lagi kemampuan aktingnya. Apalagi Vonny yang berperan sebagai Aminah, ibu kandung Alif, yang jauh-jauh datang dari Padang, Sumatra Barat. Pengucapan bahasa Minangnya terasa sangat natural, tak dibuat-buat.
Ical Tanjung yang dipercaya untuk menjadi sinematografi film tersebut sukses membangun susana kelam serta tata cahaya yang cukup memanjakan mata. Penulis lumayan kagum dengan sinematografi saat visualisasi suasana pinggiran Ibu Kota Jakarta, yang menjadi potret nyata jurang ekonomi-sosial keluarga Indonesia.
Itu sekaligus menjadi kritik sosial yang coba disampaikan oleh Kevin dan Rafki. Kesimpulan penulis, film Legenda Kelam Malin Kundang dengan genre psychological-thriller bukan hal baru. Sebab, sutradara kondang Alfred Hitchcock telah menggunakan genre ini di beberapa karyanya.
Baca Juga: Review Weapons: Film Horor Menarik yang Enggak Banyak Jump Scare
Namun genre tersebut semakin memperkaya khasanah perfilman Indonesia, memberi opsi tambahan bagi audiens. Tak hanya itu, balutan folklore yang dipilih juga patut digarisbawahi. Sebab, enggak bakal menarik perhatian audiens apabila ending-nya Alif dikutuk menjadi batu.
Di sini, dua sutradara itu memelintirnya agar memberi output yang beda. Pembelokan cerita atau plot-twist juga bukan barang baru, seperti di film Inglorious Basterds (2009) arahan Quentin Tarantino yang mengubah peristiwa nyata tentang Perang Dunia II.
Plot-twist pada Legenda Kelam Malin Kundang ialah batu yang menjadi sarana lukis Alif. Batu ini menjadi metafora akan karakter Alif yang keras dan tak bisa berbicara usai insiden kecelakaan yang dialaminya, bahkan dia merasa pedih serta emosi tapi tak mampu melupakannya - reinterpretasi folklore.
Baca Juga: Review Gowok Kamasutra Jawa Uncut: Edukasi Seks hingga Feminisme dalam Kultur Jawa