Techverse.asia - Joko Anwar keluar dari zona nyamannya, dia menggarap film Pengepungan di Bukit Duri, menandai sepak terjangnya selama 20 tahun terakhir di industri film Tanah Air. Seperti diketahui, dari beberapa karyanya, mantan jurnalis The Jakarta Post itu lebih banyak memproduksi film horor.
Film ini berpusat pada seorang guru bernama Edwin yang diperankan oleh Morgan Oey - aktor keturunan Tionghoa. Bintang lainnya termasuk Omara Esteghlal, Fatih Unru, Endy Arfian, Hana Pitrashata, dan Satine Zaneta.
Alur cerita Pengepungan di Bukit Duri memang diilhami dari peristiwa kelam bangsa ini, yakni kerusuhan pada 1998 silam yang mana etnis Tionghoa menjadi korbannya.
Namun, Joko Anwar mengubah latar peristiwa film ini menjadi tahun 2007. Pada tahun tersebut, Edwin masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan dia memiliki seorang kakak perempuan. Saat mereka sedang sekolah, tiba-tiba sekolah dibubarkan lantaran terjadi kerusuhan masif.
Baca Juga: Review Film Pengabdi Setan 2: Communion, Sosok Wartawan untuk Sampaikan Satire
Mereka berdua pun lantas pulang ke rumah. Dalam perjalanan pulang, mereka dihadang sekelompok massa yang menarget orang Tionghoa.
Nahas, Edwin dan kakak perempuannya jadi sasaran kelompok tersebut, bahkan kakaknya menjadi korban rudapaksa. Lalu, adegan film langsung melompat 20 tahun kemudian, tepatnya pada 2027.
Sekarang Edwin bekerja menjadi seorang guru seni dan mengajar di SMA Bukit Duri. Harapannya dia bisa menemukan keponakannya yang hilang.
Di sinilah awal mula konflik dimulai, sebab sekolah tersebut dikenal sebagai sekolah buangan, banyak anak-anak yang 'termarjinalkan' karena masalah-masalah tertentu. Termasuk karakter Jefri yang dimainkan oleh Omara Esteghlal, ia digambarkan sebagai sosok remaja yang sulit diatur dan tempramental.
Baca Juga: Sinopsis Film Pengepungan di Bukit Duri, Joko Anwar Kolaborasi dengan Amazon MGM Studios
Jefri juga punya beberapa teman dekat yang tingkah lakunya juga sama. Yang menarik terdapat satu orang perempuan dalam kelompok Jefri tersebut, yakni Dotty yang diperankan oleh Satine Zaneta.
Bukan rahasia umum lagi kalau Joko Anwar kerap memilih karakter perempuan guna menyiratkan sesuatu hal. Tapi selama 118 menit berlangsung, karakter Dotty ini tampak kurang memiliki latar karakter yang kuat jika dibandingkan dengan film-film dia lainnya.
Kepada awak media, Joko menjelaskan bahwa karakter Dotty ditampilkan untuk menunjukkan bahwa kekerasan bisa dilakukan oleh siapa saja, tanpa memandang jenis kelaminnya.
Pengepungan di Bukit Duri dipenuhi dengan adegan sadis dan banyak darah. Selain itu, audiens akan mendengar banyak umpatan, utamanya kata 'Babi' yang ditujukan untuk masyarakat Tionghoa. Jefri pun menggunakan kata itu untuk memanggil Edwin.
Baca Juga: Trailer Fantastic Four: First Steps, Kini Melawan Silver Surfer
Adegan-adegan tersebut digambarkan melalui pertarungan antara Jefri dan Edwin, juga dari perilaku teman-teman geng Jefri yang melakukan penyiksaan terhadap orang-orang Tionghoa secara acak. Ini dilakukan atas dasar rasisme dan kebencian terhadap suatu golongan.
Jadi, perlu dicatat bahwa film Pengepungan di Bukit Duri tidak bisa disaksikan untuk semua umur.
Menurut kesimpulan penulis, ada beberapa pesan yang ingin disampaikan oleh sang sutradara, seperti segregasi ras (ditampilkan lewat klub malam yang hanya khusus untuk orang Tionghoa), serta ingatan bersama bahwa Indonesia punya sejarah kelam yang tak boleh dilupakan.
Pasalnya, peristiwa 1998 bisa saja terulang kembali bila praktik rasisme dan kebencian terhadap suatu golongan terus dipupuk. Meski begitu, saya sendiri cukup skeptis dengan film ini, jauh sebelum Joko Anwar, sudah ada film-film - dokumenter - yang coba memberikan ingatan kolektif akan sejarah kelam negara ini.
Baca Juga: Review Film Eksil: Dicap Antek PKI dan Terpaksa Terasing di Negeri Orang
Itu seperti film Jagal (2012) dan Senyap (2014) karya Joshua Oppenheimer yang mendokumentasikan kehidupan para anak yang orang tuanya dicap sebagai anggota PKI. Satu dekade berlalu setelah dua film ini diproduksi dan telah ditonton banyak masyarakat Indonesia, tapi apakah perubahan yang terjadi? Tak ada.
Masih banyak di antara kita yang mempunyai pandangan miring kepada anak yang anggota keluarganya 'diduga' sebagai PKI. Lantas bisakah Pengepungan di Bukit Diri membuat masyarakat kita tak lagi berbuat rasis terhadap etnis apapun, dan jadi alarm bagi generasi muda?