Techverse.asia - Gowok Kamasutra Jawa Uncut Version (21+) dibuka dengan peringatan bahwa film ini memuat adegan-adegan dewasa, kekerasan, dan peringatan tindakan bunuh diri. Tapi penonton tak perlu khawatir jika tak mau melihat adegan-adegan tersebut sebab ada versi cut (17+).
Film ini coba mengingatkan publik mengenai adanya praktik gowok, yang merupakan tradisi Jawa kuno. Sejarahnya, saat Laksamana Cheng Ho datang ke Pulau Jawa, dia membawa perempuan asal China bernama Goo Wook Niang yang ditugasi memberi pendidikan seksual kepada laki-laki agar dapat memuaskan perempuan di ranjang.
Dalam bahasa Jawa sendiri, istilah kata gowok yang artinya celah atau lubang. Lebih gamblang lagi, gowok yaitu lubang atau celah di sebuah batang pohon yang biasanya dipakai burung untuk membuat sarang.
Baca Juga: Review Mission Impossible The Final Reckoning: Penuh Adegan Stunt Menegangkan
Laki-laki yang melakoni prosesi gowok di kala itu pada umumnya berasal dari kaum bangsawan seperti anak bupati atau anggota kerajaan dari suatu daerah.
Alur cerita Gowok Kamasutra Jawa berpusat pada Ratri muda (Alika Jantinia) - anak yatim piatu - yang diasuh oleh seorang peng-gowok terkenal, Nyai Santi (Lola Amaria).
Petaka bermula saat Kamanjaya muda (Devano Danendra), anak seorang bangsawan yang punya paras rupawan, dititipkan oleh kedua orang tuanya kepada Nyai Santi untuk di-gowok sebelum dia menikah. Namun, selama tinggal di Padepokan Gowokan, Kamanjaya malah menaruh hati kepada Ratri.

Kamanjaya pun berjanji kepada Ratri bahwa suatu hari kelak dia akan kembali dan menikahinya. Namun janji tersebut hanya isapan jempol belaka karena secara tak sengaja Ratri dewasa (Raihaanun) mengetahui bahwa Kamanjaya dewasa (Reza Rahardian) telah menikah dengan seorang putri keturunan bangsawan dan punya anak laki-laki, Bagas (Ali Fikry).
Singkat cerita, kakek Bagas yang diperankan oleh Slamet Raharjo ingin agar cucunya tersebut juga menjalani gowok oleh Nyai Santi - setelah dia mendengar cerita dari putrinya bahwa ia puas melakukan hubungan suami istri dengan Kamanjaya.
Baca Juga: Kaiju No. 8 The Game Mengungkap Detail Cerita Orisinalnya
Ratri yang memang sudah disiapkan untuk menjadi penerus Nyai Santi menganggap ini sebagai kesempatan emas untuk balas dendam karena merasa telah dikhianati oleh Kamanjaya yang diiming-imingi akan dinikahi dan diberi pencerahan bahwa setiap perempuan harus bisa berdiri di atas kaki mereka sendiri.
Gowok Kamasutra Jawa juga menjadi ruang bagi sutradara Ipar adalah Maut itu untuk menyelipkan sejarah bangsa Indonesia tentang peristiwa 1960an. Mengambil latar tahun 1950-1960an di Bumiayu, Kebumen, Jawa Tengah, Ratri yang memang dididik untuk bisa menjadi seorang peng-gowok, namun tekadnya tetap kuat dalam mengupayakan emansipasi perempuan.

Ratri aktif membentuk komunitas perempuan Respati yang tak lain adalah cikal bakal terbentuknya oraganisasi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang fokus terhadap dunia pendidikan bagi kaum perempuan. Juga ada sedikit sekuens tentang komunis pada 1960an.
Baca Juga: Review Joker: Folie à Deux, Gangguan Mental yang Dikemas Secara Drama Musikal
Di sisi lain, isu gender juga coba diangkat lewat karakter Liyan, putra angkat Nyai Santi yang sehari-harinya mengenakan jarik kemben dan bersikap centil. Liyan bukan cuma sekadar bumbu cerita dalam film ini, tapi sebuah representasi yang masih dinilai tabu dalam masyarakat Jawa.
Namun penulis tak sependapat dengan hal itu, karena jika ditilik ke belakang, dalam seni pentas pertunjukkan drama Jawa dahulu, sudah ada tokoh laki-laki yang berperan seperti perempuan dan tak jadi perdebatan. Seperti karakter Tessy dalam serial Srimulat yang kerap tampil feminim dan mengenakan jarik kemben dan nada bicaranya pun lembut seperti perempuan.

Selain itu, Gowok Kamasutra Jawa juga mengkritisi budaya patriarki. Ini divisualisasikan lewat adegan saat Kamanjaya dilarang ikut ke dapur oleh Ratri lantaran pria tak cocok memasak dan perempuan harus duduk lebih rendah dari para priyayi.
Dari aspek akting para aktor dan aktrisnya, Devano tampak kurang luwes dalam berbicara bahasa Jawa Ngapak. Berbanding terbalik dengan Lola Amaria dan Raihaanun yang seperti penutur aslinya. Reza Rahardian meski lancar berbahasa Jawa ngapak dalam beberapa dialog, tapi ada sedikit yang tampak seperti dipaksakan.
Baca Juga: Pari Jawa: Punah Karena Masifnya Aktivitas Manusia
Versi uncut ini juga memuat adegan-adegan seksual dan sensual namun sang sinematografer Satrio Kurnianto mampu membuatnya tampak tidak murahan dan menjijikkan. Dia dapat menangkap adegan orgasme melalui emosional para pemain.
Pace yang dibangun Gowok Kamasutra Jawa juga sangat padat dari awal hingga akhir film, alhasil penonton dikejutkan oleh serangkaian plot twist yang menjadi element of surprise. Film ini layak untuk ditonton dan membuka ruang diskusi bagi publik tentang hal-hal di atas.