Techverse.asia - Nafas dilaporkan tengah di fase akhir terkait dengan penutupan putaran pendanaan yang dilakukan oleh dua perusahaan modal ventura yakni Qatar Development Bank (QDB) dan Rigel Capital yang nilainya mencapai US$3 juta atau setara dengan Rp50,727 miliar.
Nafas sendiri adalah perusahaan startup penyedia solusi manajemen kualitas udara. Meski demikian, hingga kini salah satu Co-founder Nafas Piotr Jakubowski belum memberi konfirmasi mengenai putaran pendanaan tersebut.
Pendanaan ini terbilang jadi tonggak penting dalam upaya Nafas guna memperluas teknologi pemantauan dan perbaikan kualitas udara yang sedang mereka kembangkan saat ini.
Baca Juga: Elon Musk Sebut xAI Telah Resmi Mengakuisisi X
Pendanaan dari QDB itu dimungkinkan ada hubungannya dengan cakupan operasional Nafas yang telah merambah ke wilayah Timur Tengah dengan membuka pusat kegiatan regional di Doha Qatar.
Upaya tersebut bertujuan untuk menjawab tantangan kualitas udara di wilayah tersebut lewat penerapan teknologi kualitas udara di wilayah itu lewat penerapan teknologi pemantauan udara dalam bergam sektor, seperti institusi pendidikan dan perkantoran.
Berkat dukungan pendanaan dari QDB dan Rigel Capital, Nafas pun berpotensi untuk dapat meningkatkan kemampuan teknologinya dan jangkauan layanan mereka secara signifikan, baik di Indonesia maupun pasar internasional.
Langkah itu diharapkan bisa mendorong terciptanya lingkungan yang lebih sehat dan mendukung kesadaran publik akan pentingnya kualitas udara yang bersih.
Baca Juga: Social Bread: Startup Milik Youtuber Edho Zell Dapat Pendanaan Total Rp400 Miliar
Selama ini Nafas dikenal menghadirkan solusi kualitas udara dalam ruangan dengan teknologi berbasis perangkat serta kecerdasan buatan, yang membantu bangunan atau ruang publik meningkatkan kualitas udara secara efisien dan terukur.
Sebelumnya, Nafas telah memperoleh dana hibah dari DBS Foundation sebesar Rp8,2 miliar program DBS Foundation (DBSF) Business for Impact Grant Award 2023.
Menurut data Nafas, per Januari-Juni 2024, kualitas udara di Kota Jakarta menunjukkan rata-rata konsentrasi partikulat atau PM 2,5 sebesar 34 µg/m3. Artinya, tujuh kali lebih buruk daripada standar yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang sebesar 5 µg/m3 per tahunnya.
Pengukuran itu memakai skala dari Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (AS), yang mengkategorikan kualitas udara menjadi enam jenis: udara berbahaya (coklat), sangat tak sehat (ungu), tidak sehat (merah), tak sehat bagi kelompok sensitif (oranye), sedang (kuning), dan baik (hijau).
Baca Juga: Endeavor Scale Up Batch 6 Bergulir, Ini 13 Startup Hijau yang Terpilih
Data ini diambil dari lebih 100 sensor kualitas udara yang dipasang oleh Nafas di seluruh wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).
Co-founder sekaligus CEO Nafas Indonesia Nathan Roestandy menjelaskan bahwa salah satu langkah mengatasi isu kualitas udara tersebut yakni dengan menghadirkan data yang lebih komprehensif dan real-time dengan adanya lebih banyak lagi alat sensor udara di banyak titik.
"Dengan memasang sejumlah alat pengukur sensor udara, kami yakin bisa memberikan gambaran data yang lebih komplet tentang kondisi udara di berbagai daerah supaya pemeritah maupun instansi terkait dapat membuat kebijakan atau strategi yang lebih baik untuk menyelesaikan persoalan ini," katanya
Nafas sejauh ini tercatat memiliki 250 sensor kualitas udara yang tersebar di seluruh daerah di Tanah Air. Dengan memperoleh dana hibah dari DBS Indonesia, startup ini akan menargetkan akan memasang setidaknya 50 alat sensor kualitas udara sampai akhir 2024, dan 700 sensor pada tahun depan.
"Target kami pada tahun ini adalah bisa mempunyai alat sensor kualitas udara mencapai 300 unit. Dan target untuk tahun ini kami bisa punya 1.000 unit sensor kualitas udara. Kami akan memasang alat ini di Pulau Kalimantan, Sumatra, dan Sulawesi karena di tiga pulau tersebut juga terdapat pusat industri," terangnya.