Techverse.asia - Rencana Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk menerapkan tarif impor sebesar 100 persen terhadap film asing menimbulkan kekhawatiran serius di dunia perfilman internasional. Kebijakan proteksionis tersebut dinilai dapat mengganggu rantai distribusi global yang selama ini menjadi fondasi industri film lintas negara.
Pakar Film Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dhimas Aryo Vipha Ananda, menyayangkan rencana kebijakan tersebut karena berpotensi menciptakan ketidakpastian besar dalam industri hiburan global. Menurutnya, tarif sebesar itu akan menaikkan biaya produksi dan distribusi, mempersempit pasar, serta berpotensi membuat harga tiket tontonan ikut naik.
Baca Juga: Gerai Baru Dunkin Donuts akan Segera Buka di Jakarta
"Meskipun dasar hukumnya belum jelas, isu ini saja sudah cukup menimbulkan keresahan di kalangan pelaku industri. Ekosistem perfilman kini dibangun atas kolaborasi lintas negara, sehingga satu kebijakan sepihak dapat mengacaukan keseimbangan distribusi film internasional yang selama ini sudah mapan," ujarnya, Selasa (7/10/2025).
Menurutnya, meskipun dampak langsung terhadap Indonesia tidak signifikan, kebijakan proteksionis semacam ini bisa memicu efek domino global, terutama dari negara-negara produsen film besar seperti Inggris, Korea Selatan, dan Jepang. Jika negara-negara tersebut mengambil langkah serupa, peredaran film internasional akan terganggu dan pasar menjadi tidak stabil.
Namun di balik potensi ancaman, Dhimas melihat adanya peluang bagi industri film nasional. Jika arus film impor melambat, maka ruang tayang di bioskop dan pelantar digital otomatis terbuka lebih luas bagi film lokal. Hal ini bisa menjadi momentum bagi sineas Indonesia untuk memperkuat kapasitas produksi, distribusi, sekaligus promosi.
Baca Juga: Film F1 Memberi Sukses Besar untuk Apple Original Films, Catatkan Pendapatan Rp3 Triliun
"Kalau benar kebijakan ini dijalankan, ada dua kemungkinan. Pertama, jika hanya retorika politik, dampaknya tidak akan signifikan. Dunia perfilman terlalu besar dan kompleks untuk dibatasi oleh satu kebijakan sepihak. Tapi jika benar-benar diterapkan dan dibalas oleh negara lain, maka tatanan industri hiburan global bisa berubah drastis," jelasnya.
Dhimas menambahkan, jika skenario tersebut terjadi, maka harga lisensi film pun tak menutup kemungkinkan akan ikut melonjak, beberapa judul film juga mungkin batal tayang di bioskop, dan layanan streaming pun akan menyesuaikan katalog mereka.
"Dalam situasi seperti ini, Indonesia perlu menyiapkan langkah strategis. Industri film nasional harus memperbanyak produksi dengan tema-tema yang dekat dengan masyarakat, memperkuat kolaborasi antarnegara di kawasan Asia Tenggara agar lahir film berstandar internasional namun berakar pada budaya regional, serta mengoptimalkan distribusi digital agar tidak bergantung pada rilis bioskop," katanya.
Baca Juga: Gelar Festival Film Parade Dokumenter, 13 Film Dokumenter Mahasiswa UMY Dapat Apresiasi
Ia juga menekankan pentingnya dukungan kebijakan pemerintah untuk memperkuat ekosistem film lokal, misalnya melalui subsidi promosi, potongan pajak bagi rumah produksi nasional, serta pemberian jaminan waktu tayang minimum di jaringan bioskop.
"Kalau momentum ini bisa dimanfaatkan dengan tepat, bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi salah satu pemain penting di kancah perfilman Asia," paparnya.
Di sisi lain, pada awal tahun ini, China dikabarkan telah tengah mempertimbangkan serangkaian tindakan balasan terhadap Negeri Paman Sam yang berpotensi menghancurkan akses Hollywood ke box office terbesar kedua di dunia, menurut postingan dua tokoh media sosial China yang berpengaruh, menurut Bloomberg.
Langkah-langkah potensial, yang mencakup kemungkinan pengurangan atau larangan langsung terhadap impor film asal Negeri Adidaya tersebut.
Baca Juga: Keren, Film Pendek Lies Karya Mahasiswa Ilmu Komunikasi UMY Diputar di SWIFF