Techverse.asia - Pasar saham Indonesia saat ini sedang bergejolak. Setelah mengalami penurunan tajam beberapa waktu lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih belum menunjukkan pemulihan yang stabil. Sentimen global yang negatif, harga komoditas yang melemah, hingga tren inflasi semakin menambah ketidakpastian.
Kepala Departemen Manajemen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada (UGM) I Wayan Nuka Lantara menyampaikan, kondisi saat ini tetap bisa dimanfaatkan investor pemula untuk belajar berinvestasi. Namun, ia menekankan pentingnya sikap bijak dalam mengelola keuangan pribadi.
“Sekarang ini sebenarnya justru bisa jadi waktu yang bagus untuk masuk, karena harga saham sedang diskon. Tapi bukan berarti asal beli. Pilih yang fundamentalnya kuat dan masa depannya masih cerah,” ujarnya pada Rabu (9/4/2025).
Baca Juga: Film Hollywood Bakal Dilarang Beredar di China Imbas Kebijakan Tarif Trump?
Menurut Wayan, sebelum memulai investasi, masyarakat harus memastikan kebutuhan konsumsi terpenuhi, memiliki dana darurat yang cukup, baru kemudian mengalokasikan dana untuk investasi. Ia menyinggung istilah ‘mantap’ atau makan tabungan yang saat ini tengah marak.
“Kalau tabungan tipis dan pemula melakukan investasi tanpa dikalkulasikan, akan jebol juga,” terangnya.
Ia mengingatkan bahwa investasi bukan soal keberuntungan atau tren sesaat. Terlebih lagi, dalam kondisi ekonomi yang tidak stabil, keputusan emosional yang hanya ingin memburu cuan justru bisa memperbesar risiko.
“Jangan sampai keinginan untuk untung besar membuat orang mengorbankan prinsip dasar. Punya penghasilan Rp10 juta tapi Rp9 juta diinvestasikan semua, bahkan sampai berani pinjam, itu sangat tidak disarankan,” kata dia.
Baca Juga: Inflasi Inti Mereda, Pasar Kripto dan Saham AS Kompak Menghijau
Wayan juga menyoroti anomali pasar terkait dengan produk investasi belakangan ini. Contohnya harga emas yang sempat naik, tetapi kemudian turun lagi di tengah pelemahan ekonomi global. Ia juga menyebut jatuhnya nilai Bitcoin dan saham teknologi di Amerika Serikat yang turut anjlok dengan portofolio merah di berbagai tempat.
Fenomena ini, menurutnya, menunjukkan bahwa pola-pola lama tidak lagi bisa dijadikan patokan mutlak. Meski penuh ketidakpastian, ia berpendapat investasi tetap penting untuk menjaga daya beli dalam jangka panjang.
Jika uang hanya disimpan untuk konsumsi, nilainya akan terus tergerus oleh inflasi. “Satu-satunya cara membangun ‘sekoci’ masa depan ya tetap lewat investasi,” katanya
Baca Juga: Peneliti Bilang Sistem Ekonomi Restoratif Cocok untuk Diterapkan di Indonesia
Mengingat investasi adalah produk jangka panjang dalam hitungan tahun, ia memberikan ramalan tren pasar setidaknya untuk tiga bulan ke depan. Berdasarkan analisa pengamatan, dia tidak melihat adanya sinyal positif yang kuat, bahkan cenderung mengarah pada pesimisme.
Tidak ada satupun insentif yang menunjukkan adanya optimisme. Jika sentimen tersebut tidak berhenti, kondisi ini membahayakan. Oleh sebab itu, ia mendorong pemerintah melakukan pengkajian fundamental dan pemetaan ulang terhadap sektor ekspor nasional yang masih bertumpu pada komoditas seperti batubara dan nikel.
“Kita perlu segera mencari celah baru di tengah tekanan global,” imbuhnya.
Adapun beberapa faktor yang menyebabkan jebloknya IHSG dalam negeri. Misal, perang dagang yang terus digencarkan oleh Presiden AS Donald Trump dengan banyak negara, termasuk Indonesia yang terkena tarif impor sebesar 32 persen oleh AS.
Baca Juga: 5 Tips Terhindar dari Saham Gorengan, Jangan Mudah Terpengaruh Rumor Pasar
Investor-investor yang keluar dari pasar global lantaran banyak ketidakpastian akibat perang dagang itu. Sehingga dampaknya adalah peningkatan inflasi dan memperlambat ekonomi Negeri Paman Sam.
Faktor lainnya yaitu Rusia yang menolak gencatan senjata dengan Ukraina. Padahal Donald Trump telah mengajukan tawaran untuk kedua negara ini. Hal ini pun dapat menyebabkan gangguan lebih lanjut terkait dengan sektor logistik di Laut Hitam.