Techverse.asia - Seseorang yang terlihat tenang dan baik-baik saja, padahal dia sebenarnya sedang berjuang melawan tekanan mental dan emosional. Hal semacam ini mudah ditemui di sekitar lingkungan kita tanpa disadari, dan ternyata mereka sesungguhnya sedang mengalami duck syndrome.
Fenomena tersebut diambil dari metafora seekor bebek yang mengapung di permukaan air, tapi di bawahnya dia sedang berupaya mengayuh dengan panik supaya tak tenggelam.
Psikolog dari Career and Student Development Unit (CSDU) Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada (UGM) Anisa Yuliandri menjelaskan, berdasarkan konsep self-determination theory, manusia punya tiga kebutuhan psikologis dasar yaitu rasa kendali (autonomy), rasa mampu (competence), dan rasa terhubung (relatedness).
"Fenomena duck syndrome ada kaitannya erat dengan konsep tersebut, sebab saat pilihan hidup enggak lagi didasarkan pada keinginan pribadi melainkan pada tekanan eksternal, keseimbangan psikologis individu pun kemudian akan terganggu," kata Anisa, Kamis (14/8/2025).
Baca Juga: Cara Mengatasi Kesepian bagi Seseorang dan Ketahui Apa Penyebabnya
Selain itu, budaya untuk selalu 'terlihat baik-baik saja' menjadikan kita menekan atau cenderung menyembunyikan emosi yang sesungguhnya sedang kita rasakan. Tak sedikit yang berupaya untuk tidak boleh terlihat lelah maupun menyerah lantaran ada kekhawatiran dianggap lemah.
"Sikap perfeksionisme yang tinggi ini membuat kita cenderung menutupi kelemahan dan kesulitan. Padahal kita ini manusia biasa, punya batas, namun karena ingin mempertahankan citra sempurna, akhirnya semuanya dipendam sendirian," ujarnya.
Ia berpandangan, keberadaan media sosial turut punya andil dalam memperkuat hal itu. Ia mencontohkan, saat beranda media sosial seseorang dipenuhi dengan pencapaian orang lain seperti kemenangan lomba, liburan, lulus lebih cepat, hingga pengalaman magang.
Hal-hal semacam itu dapat memicu orang lain untuk memunculkan rasa tertinggal. "Dalam upaya agar enggak kalah bersinar, manusia sering kali memaksakan diri untuk terlihat produktif. Ini sesuai dengan impression management theory. Seseorang cenderung mengatur dan mengendalikan citra supaya mereka terlihat mampu dan kuat, walau sebenarnya di balik itu mereka aslinya sangat lelah," ungkapnya.
Baca Juga: Taylor Swift Umumkan Album Barunya: The Life of a Showgirl
Menurutnya, fenomena duck syndrome bisa menjadi sangat berbahaya sebab sifatnya yang enggak tampak. Sesuatu yang tampak baik-baik saja, tapi banyak yang tak sadar bahwa diri mereka sedang mengalami distress psikologis.
"Kalimat-kalimat seperti semua orang juga capek atau kalimat memang harus begitu kalau mau sukses, menjadi suatu pembenaran untuk manusia terus memaksakan diri," katanya.
Padahal kondisi ini kalau terus dibiarkan bakal bisa berkembang menjadi gangguan yang lebih serius, seperti kecemasan kronis, insomnia, depresi, bahkan mengalami burnout. Konflik perasaan internal dan ekspresi internal ini menciptakan disonasi kognitif yang berat.
"Lama-kelamaan orang bisa merasa asing dengan dirinya sendiri, tidak dapat membedakan antara bahagi dan sibuk. Gejala duck syndrome juga bisa mempengaruhi hubungan sosial dan pada akhirnya seseorang mulai menarik diri, menghindari interaksi, dan merasa enggak cukup baik," terang dia.
Baca Juga: Konten Anomali: Ancaman Tersembunyi bagi Perkembangan Psikologis Anak
Ada perasaan takut dihakimi atau dianggap gagal, padahal sebetulnya yang dibutuhkan hanya ruang untuk didengar. Untuk itu, ada baiknya bagi seseorang untuk mulai mengenali gejala duck syndrome dan mengambil langkah kecil untuk mengatasinya.
Langkah pertama adalah jujur pada diri sendiri, dan mengakui bahwa ia sedang lelah bukan kelemahan. "Sikap jujur ini merupakan bentuk keberanian. It’s okay to not be okay. Kita tidak harus selalu produktif atau terlihat bahagia. Menerima semua, dan mengizinkan diri merasa sedih adalah bagian dari pemulihan," katanya.
Menyoal mengelola ekspektasi, baik dari diri sendiri maupun lingkungan. Manusia perlu menyadari bahwa tidak semua standar harus diikuti, dan tidak semua peran harus diambil. Menolak suatu tanggung jawab demi menjaga kesehatan mental adalah hal yang sah.
"Belajar mengatakan tidak tanpa rasa bersalah adalah keterampilan penting," katanya.
Baca Juga: Apakah Pasangan Yang Melakukan PDA Hubungannya Pasti Bahagia?


















