Techverse.asia - Gelaran Borobudur Marathon 2025 - lomba lari marathon - kembali menarik perhatian publik dengan jumlah peserta yang mencapai puluhan ribu serta dampak ekonomi yang meningkat signifikan di kawasan Kabupaten Magelang dan daerah sekitarnya di Provinsi Jawa Tengah.
Baca Juga: Yogya dan Solo Jadi Destinasi Favorit Wisata Kebugaran
Fenomena ini semakin menguatkan tren sport tourism atah wisata olahraga sebagai salah satu penggerak baru perekonomian Indonesia. Namun demikian, di tengah berbagai capaian positif tersebut, terdapat sejumlah tantangan yang perlu diantisipasi agar wisata olahraga tidak hanya menjadi euforia sesaat, tetapi benar-benar menghadirkan manfaat yang berkelanjutan dan inklusif bagi masyarakat.
Dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) sekaligus pakar kebijakan pariwisata berkelanjutan, Sakir Ridho Wijaya menilai bahwa meningkatnya minat masyarakat terhadap event olahraga seperti lari, triathlon, dan bersepeda tidak dapat dilepaskan dari perubahan gaya hidup pascapandemi Covid-19.
“Setelah pandemi Covid-19, orang lebih peduli dengan kesehatan. Ada tren bahwa masyarakat kini punya gaya hidup yang lebih sehat. Ini yang mendorong tingginya minat terhadap kegiatan seperti marathon, yang kemudian berkembang menjadi sport tourism,” jelasnya belum lama ini kami kutip, Kamis (27/11/2025).
Baca Juga: On x Loewe Rilis Sepatu Cloudsolo dan Pakaian Olahraga
Sakir menjelaskan bahwa wisata olaharga merupakan kolaborasi antara aktivitas olahraga dan wisata, di mana peserta tidak hanya berkompetisi, tetapi juga menikmati keindahan destinasi seperti Borobudur, Mandalika, hingga Bali.
Menurut pengamatannya, perhelatan sport tourism memang mendorong perputaran ekonomi daerah, mulai dari hunian, transportasi, hingga kuliner dan suvenir lokal. Meski begitu, Sakir menegaskan bahwa manfaat tersebut belum tentu dirasakan secara merata.
“Pertanyaannya, siapa yang benar-benar menikmati? UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) kah? Pengelola homestay? Atau justru hotel-hotel besar? Di sini tantangannya. Ketika kita bicara pariwisata berkelanjutan, inklusivitas harus dijamin,” papar dia.
Baca Juga: Patrick Walujo Resmi Mundur Sebagai CEO GoTo, Siapa Penggantinya?
Dia juga menyoroti potensi over tourism atau kunjungan wisatawan yang membludak melebihi kapasitas sesungguhnya, seperti peningkatan volume sampah dan tekanan terhadap lingkungan apabila event besar tidak dikelola dengan hati-hati. Untuk itu, ia mendorong adanya koordinasi lintas kementerian dan lembaga agar sport tourism memberikan manfaat optimal.
“Olahraga itu wilayahnya Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), sementara pariwisata ada di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Belum lagi infrastruktur di Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan sektor UMKM. Tentu harus ada koordinasi agar setiap event jelas manfaatnya dan tepat sasaran,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa keberhasilan sport tourism tidak hanya ditentukan oleh penyelenggara event, tetapi juga kesiapan destinasi, mulai dari kualitas homestay, daya saing produk UMKM, hingga infrastruktur dasar yang mendukung kenyamanan pengunjung.
Baca Juga: Samsung Galaxy Active Club: Komunitas Olahraga untuk Hidup Aktif dan Sehat
Menanggapi pertanyaan mengenai apakah tren sport tourism hanya bersifat sementara, Sakir menilai bahwa fenomena ini memiliki potensi jangka panjang.
“Ini bukan seperti tren tanaman hias saat pandemi. Sport tourism bisa bersifat long-lasting, asalkan dikelola dengan prinsip keberlanjutan dan inklusivitas. Kalau koordinasi lintas sektor berjalan, dampaknya akan besar dan merata,” tambahnya.
Menurut Sakir, penting untuk melakukan kolaborasi dengan sektor swasta agar wisata olahraga tidak hanya mengandalkan event tahunan, tetapi dapat berkembang menjadi paket wisata tematik yang berlangsung sepanjang tahun.
Baca Juga: Candi Hindu Ini Ada Di Tengah Kompleks Kampus Islam, Yuk Tengok














