3 Penyebab Utama Kegagalan Startup di Asia Tenggara Versi Wright Partners

ilustrasi startup (Sumber: freepik)

Techverse.asia - Venture builder Wright Partners baru-baru ini telah menerbitkan whitepaper berjudul The Corporate Venture Valley of Death yang mengungkap bahwa penyebab kegagalan startup alias perusahaan rintisan rupanya bermuara pada faktor rapuhnya struktural dalam hal tata kelola serta perancangannya, bukan karena kurangnya modal.

Laporan itu disusun bersama konsultan MING Labs melalui program Corporate Venture Launchpad 3.0 yang didukung oleh EDB Singapura, menemukan bahwa masalah yang sama juga terjadi pada startup berbasis Venture Capital (VC), mulai dari tata kelola yang rapuh, keliru dalam pemetaan masalah, dan ketidakcocokan profil pendirinya dengan kebutuhan skala serta disiplin eksekusi.

Baca Juga: Jawab Tantangan Industri Armada, TransTRACK Academy Hadirkan Pelatihan Fleet Engineering

Founding Partner di Wright Partners Ziv Ragowsky menyampaikan, corporate venture building memberi gambaran langsung ke dinamika lapangan yang menjelaskan mengapa banyak startup di Asia Tenggara enggak mampu bertahan dalam waktu lama.

"Pada dasarnya, tanpa adanya tata kelola yang baik, pendiri yang tepat, dan disiplin eksekusi, maka kegagalan bakal terus berulang," ujar Ziv kami kutip, Selasa (14/10/2025).

Secara global, sekitar 90 persen perusahaan rintisan mengalami kegagalan, termasuk di kawasan Asia Tenggara. Namun begitu, menurutnya, penyebab kegagalan perusahaan rintisan di kawasan ini tak cuma sekadar siklus pendanaan saja atau sentimen investor, melainkan kendala utamanya ialah kegagalan struktural yang menjalar di seluruh ekosistem.

Tata kelola yang lemah masih jadi permasalahan utamanya. Mulai dari perusahaan rintisan berskala unicorn yang didukung oleh VC sampai ventura korporat, terlalu banyak perusahaan rintisan di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, yang bangkrut gegara skandal, pengelolaan yang melesat, dan pengawasan yang lemah.

Baca Juga: Pendanaan Startup di Indonesia Seret, Modal Ventura Kini Semakin Selektif

Pada saat yang sama, kawasan tersebut juga menghadapi kualitas pendiri. Bila dibandingkan dengan Silicon Valley yang terletak di California, Amerika Serikat (AS), jumlah pendiri startup yang punya pengalaman panjang dan pengusaha gelombang kedua atau second-time founders di Asia Tenggara jauh lebih sedikit.

"Hal tersebut mengakibatkan banyak perusahaan rintisan berada di tangan pemimpin yang kurang pengalaman dalam menskalakan perusahaan (scale-up) atau disiplin tata kelola," katanya.

Di samping itu, faktor lain yang tambah memperparah situasi ialah banyak startup yang mengejar ide yang sedang populer, bukan malah merampungkan kebutuhan nyata dan potensi monetisasinya. Di saat yang sama, pendanaan ventura juga sering menyuntik dana ke model bisnis yang masih dalam tahap pematangan.

"Jadi terbentuk dinamika pertumbuhan yang didorong oleh ekspektasi, namun belum tentu berkelanjutan," terangnya.

Baca Juga: Meet The Investors #2 Pertemukan Pengusaha, Startup, dan Modal Ventura

Di pasar berkembang seperti Indonesia, hambatan struktural, mulai dari rantai pasok yang terpecah sampai ketidakpastian regulasi menjadi faktor yang sering menyulitkan eksekusi. "Kami melihat di Asia Tenggara tak hanya tentang ketersediaan modal, namun juga struktur," katanya.

Tata kelola yang lemah, pendiri yang minim pengalaman, hingga cenderung mengutamakan tren jangkan pendek dibandingkan membangun ketahanan model bisnis adalah pola yang berulang di banyak negara, tak terkecuali Indonesia. Tanpa membenahi hal-hal dasar itu, sebesar apapun investasinya, sulit melahirkan bisnis yang berkelanjutan.

Contoh startup yang mengalami kendala tersebut antara lain eFishery, TaniHub, dan Investree. Ketiga perusahaan ini mengalami pertumbuhan yang sangat cepat dengan dukungan investor yang kuat pula, tapi kinerja mereka tersendat lantaran celah tata kelola, ekspansi yang sulit untuk dipertahankan, dan guncangan eksternal.

Kejadian ini menunjukkan bahwa startup yang mendapat pendanaan masif pun masih bisa goyah dalam waktu yang singkat kalau fondasinya kurang tangguh, entah karena tata kelola yang lemah, model bisnis yang rentan, maupun volatilitas pasar.

Baca Juga: Setia dan Antler Ibex Meluncurkan Tantangan AI dan PropTech di Asia Tenggara

Tags :
BERITA TERKAIT
BERITA TERKINI