Techverse.asia - Belakangan ini istilah NPD (Narcissistic Personality Disorder) atau gangguan kepribadian narsistik semakin sering muncul di dunia maya. Di berbagai platform media sosial, label 'NPD' kerap disematkan secara sembarangan untuk menyebut seseorang yang dianggap egois, haus perhatian, atau selalu ingin menang sendiri.
Baca Juga: TikTok Shop dan Tokopedia Siap Adakan Promo Guncang 11.11
Fenomena pelabelan ini, menurut Cahyo Setiadi Ramadhan yang merupakan dosen jurusan Psikologi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), justru dapat menimbulkan dampak sosial yang serius.
Dia menyatakan bahwa pelabelan gangguan mental yang disematkan tanpa dasar ilmiah bisa membentuk stigma, menimbulkan prasangka, bahkan menjauhkan seseorang dari lingkungan sosialnya meskipun ia sebenarnya tidak mengalami gangguan tersebut.
“Sekarang istilah NPD sering digunakan secara serampangan. Label seperti ini berbahaya karena menciptakan persepsi negatif terhadap seseorang bahkan sebelum dikenali lebih jauh. Akibatnya, ia bisa dijauhi, disalahpahami, atau kehilangan kesempatan berinteraksi secara sehat,” ujar Cahyo di UMY pada Jumat (7/11/2025).
Baca Juga: Efek Buruk Terlalu Obsesi Mengidolakan Bias, Waspadai 5 Gangguan Jiwa Berikut
Secara klinis, sambungnya, NPD adalah salah satu bentuk gangguan kepribadian yang ditandai dengan kebutuhan berlebih untuk dikagumi dan keyakinan konstan bahwa dirinya lebih unggul dari orang lain. Penderitanya kerap memiliki fantasi berlebihan tentang kekuasaan, kesuksesan, atau keistimewaan diri, serta sangat sensitif terhadap kritik.
“Mereka membutuhkan validasi dari orang lain dan sering kali tampak arogan. Ketika dikritik, bisa bereaksi berlebihan atau menolak tanggung jawab. Kondisi ini berbeda jauh dengan sekadar percaya diri tinggi,” paparnya.
Meski begitu, Cahyo menegaskan bahwa tidak semua perilaku narsistik dapat dikategorikan sebagai gangguan kepribadian. Sebuah perilaku baru dapat disebut gangguan jika sudah menimbulkan kesulitan bagi diri sendiri maupun orang lain.
Dia mencontohkan, ketika seseorang terlalu dominan hingga menghambat kerja suatu tim, sulit menjalin hubungan dekat, atau tidak mampu menerima pandangan orang lain.
Baca Juga: Hasil Survei I-NAMHS: Gangguan Kecemasan Paling Banyak Diderita Remaja Indonesia
“Masalahnya, orang dengan NPD sering kali tidak sadar bahwa perilakunya merugikan dirinya sendiri. Dia justru menyalahkan orang lain, menganggap orang lain tidak kompeten atau toksik, padahal dirinya sendiri yang bermasalah,” kata dia.
Dia menerangkan bahwa penyebab munculnya gangguan kesehatan mental tersebut bersifat multifaktorial, mulai dari faktor biologis dan genetik, hingga pola asuh dan budaya sosial. Anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh pujian berlebihan atau selalu diutamakan dapat mengembangkan rasa percaya diri semu yang sulit dikontrol.
“Dalam budaya yang menyanjung satu gender atau memberi perlakuan istimewa sejak kecil, anak bisa tumbuh dengan rasa superioritas yang berlebihan. Dalam beberapa kasus, perilaku orang tua yang narsistik pun bisa ditiru oleh anak,” katanya.
Baca Juga: Kenali Dampak Hubungan yang Tidak Sehat Terhadap Mental Remaja
Menurutnya, untuk memahami orang menderita gangguan NPD tidak bisa hanya melalui konten singkat atau istilah viral di internet. Diagnosis gangguan kepribadian memerlukan pemeriksaan profesional oleh psikolog atau psikiater dengan prosedur ilmiah yang terstandar.
“Narcissistic Personality Disorder adalah istilah klinis, bukan label sosial. Yang berhak menegakkan diagnosis hanyalah profesional di bidangnya. Kalau masyarakat asal menilai dan memberi cap, itu bukan diagnosis, melainkan pelabelan semata. Bahkan bagi orang yang tidak narsistik tapi mudah terpengaruh secara sosial, label seperti ini bisa sangat menghancurkan,” ujarnya.
Ada beberapa cara untuk mengatasi gangguan NPD tersebut, salah satunya adalah menjalani Cognitive Behavioral Therapy (CBT) yang akan membantu mereka mengenali pola pikir serta perilaku negatif yang menyimpang, dan menggantinya dengan cara pandang serta perilaku yang lebih realistis dan positif.
Baca Juga: Kemenkes Imbau Masyarakat untuk Melakukan Skrining Kesehatan Jiwa Setahun Sekali















