Techverse.asia - Dunia kerja saat ini tengah menghadapi fenomena baru yang menggugah kesadaran banyak pihak atau biasa disebut dengan nama 'quiet quitting'.
Istilah yang sempat viral di berbagai platform media sosial dalam belakangan ini bukan lagi sekadar bahan diskusi ringan, melainkan telah menjelma menjadi isu serius yang mencerminkan pergeseran nilai, ekspektasi, dan cara kerja generasi muda.
Baca Juga: Jeep Resmi Memperkenalkan Dua Model Wagoneer Edisi Khusus Baru
Quiet quitting menggambarkan kondisi ketika karyawan tetap menjalankan tugas-tugas pokok sesuai deskripsi pekerjaan, namun tanpa inisiatif tambahan, keterlibatan emosional, maupun komitmen jangka panjang terhadap pekerjaan atau institusi. Dalam dunia akademik, kondisi ini dikenal sebagai bentuk penarikan diri secara psikologis dari pekerjaan.
Fenomena ini kerap dikaitkan dengan Generasi Z atau Gen Z, generasi yang lahir dan tumbuh di era digital, terbiasa dengan komunikasi terbuka, mengedepankan kesehatan mental, serta memiliki ekspektasi tinggi terhadap keseimbangan hidup (work-life balance).
Menurut Meika Kurnia Puji Rahayu DA, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UMY sekaligus dosen Manajemen Sumber Daya Manusia, quiet quitting bukanlah bentuk kemalasan, melainkan gejala dari lingkungan kerja yang tidak mendukung secara emosional dan struktural.
Baca Juga: Stanley x Post Malone Umumkan Koleksi Terbarunya, Ada Botol Minum hingga Box Makan
“Hal itu sebenarnya perilaku bekerja secara minimalis atau sekadar menjalankan tugas sesuai kewajiban. Para Gen Z tidak mencoba melakukan lebih atau melampaui ekspektasi. Dalam organisasi yang dinamis, sikap ini bisa menjadi penghambat pencapaian tujuan,” jelas Meika belum lama ini.
Meika mengungkapkan, tantangan ini semakin rumit sebab sebagian besar pimpinan organisasi berasal dari Generasi X, sementara staf dan karyawan didominasi oleh generasi Z. Ketimpangan nilai, ekspektasi, dan gaya komunikasi ini menciptakan celah antargenerasi yang rentan memicu konflik tersembunyi.
“Quiet quitting bukan berarti mereka malas atau tidak loyal. Ini sinyal bahwa ada yang perlu dibenahi dalam sistem kerja dan budaya organisasi. Kita tidak bisa terus mengeluh dan menyalahkan. Kita harus sadar dan menerima bahwa ini sudah terjadi, lalu mencari strategi untuk menghadapinya,” terangnya.
Baca Juga: Gen Z Tak Lagi Percaya dengan Mega Influencer, Yuk Pahami Influencer Fatigue
Sebagai solusi, Meika menekankan akan pentingnya budaya kerja yang mendukung dan lingkungan kerja yang sehat secara emosional, terutama untuk mendorong lahirnya Organizational Citizenship Behavior (OCB) - yakni perilaku ekstra dari karyawan yang dilakukan secara sukarela karena mereka peduli terhadap organisasi.
“OCB adalah kontribusi lebih dari karyawan yang tidak tertulis dalam deskripsi pekerjaan, namun dilakukan karena rasa kepemilikan dan komitmen terhadap tujuan bersama,” kata dia.
Budaya kerja yang suportif tidak bisa dibangun melalui pendekatan otoriter atau sekadar imbalan finansial. Pola kepemimpinan yang hanya menekankan pada gaji, bonus, atau hukuman justru berisiko memperparah fenomena disengagement di tempat kerja.
Baca Juga: Cara Mengelola Keuangan Bagi Generasi Z, Reksadana Bisa Jadi Pilihan
“Yang dibutuhkan adalah kepemimpinan yang memahami karakter Gen Z, menciptakan ruang yang memungkinkan mereka untuk bertumbuh, belajar, dan merasa dihargai,” tambahnya.
Dia juga menegaskan pentingnya penguatan soft skills bagi generasi muda, seperti empati, komunikasi efektif, dan kemampuan kolaborasi lintas generasi. Anak-anak dari Gen Z itu cerdas-cerdas, tapi kecerdasan saja tidak cukup.
“Mereka harus dilengkapi dengan keterampilan lunak agar dapat beradaptasi di dunia kerja yang kompleks,” ujarnya.
Meika pun berpesan bahwa menciptakan lingkungan kerja yang sehat secara emosional bukan hanya tanggung jawab dari Human Resource Development (HRD) atau manajemen puncak, tetapi tanggung jawab bersama di seluruh level organisasi. Budaya kerja yang positif akan tumbuh bila semua pihak merasa didengar, dihargai, dan diberdayakan.
Baca Juga: Gen Z Paling Aktif di Internet, Orang Tua Perlu Memantau Aktivitas Digitalnya

















