Techverse.asia - Harga Bitcoin kembali tertekan, sementara pasar saham Amerika Serikat (AS) cenderung stabil. Harga Bitcoin tercatat di sekitar US$109 ribu atau sekitar Rp1,77 miliar, melemah hampir 5% dalam 24 jam terakhir pada Selasa (26/8/2025) pagi.
Baca Juga: Ricoh GR IV Dipasarkan Seharga Rp24 Jutaan, Tersedia Mulai September 2025
Penurunan tajam ini menambah tekanan setelah reli yang sempat membawa Bitcoin ke level harga tertingginya di atas US$123 ribu pada 14 Agustus lalu. Kemudian, harga Ethereum merosot lebih tajam dan diperdagangkan di area US$4.400 setelah mencetak rekor harga tertinggi baru melampaui level US$5.000 di beberapa bursa perdagangan pada 25 Agustus.
Di sisi lain, pasar saham AS relatif stabil namun juga penuh kewaspadaan. Indeks S&P 500 ditutup di USD 6.439,32 turun 0,43%. Dow Jones melemah 0,77% ke USD 45282,47, sementara Nasdaq terkoreksi tipis 0,22% berkat dorongan saham big tech.
Merespons kondisi tersebut, Analyst Reku Fahmi Almuttaqin menilai situasi ini mengindikasikan meningkatnya kehati-hatian investor, menjelang rilis data inflasi Personal Consumption Expenditures (PCE) Index AS bulan Juli 2025 akhir pekan ini.
Baca Juga: Bitcoin Longsor Usai Cetak Rekor, Kekhawatiran Inflasi Semakin Nyata?
Data inflasi ini menjadi sorotan karena merupakan indikator inflasi acuan Federal Reserve (The Fed), yang akan sangat menentukan arah kebijakan suku bunga ke depan.
"Pasar kripto saat ini tengah berada pada mode menunggu (wait and see). Inflasi yang lebih rendah dari ekspektasi bisa menjadi katalis kuat untuk reli baru, dengan target jangka pendek di kisaran US$120 ribu atau jika terjadi breakout dari All-Time-High sebelumnya, terdapat potensi lonjakan hingga US$136 ribu," ujarnya.
Namun, jika data PCE justru menunjukkan tekanan inflasi masih tinggi, Bitcoin berpotensi terkoreksi lebih dalam ke zona support US$100 ribu sampai US$103 ribu, yang kini dianggap sebagai benteng bawah selanjutnya setelah tertembusnya level US$112 ribu.
Baca Juga: Pasar Kripto dan Wall Street Hadapi Ketidakpastian Arah Penurunan Suku Bunga
Meskipun demikian, proyeksi secara jangka panjang tetap bullish. "Terlepas dari rilis data PCE kali ini menjadi ujian penting yang menentukan arah jangka pendek Bitcoin, tren pelonggaran kebijakan ekonomi cepat atau lambat akan terjadi yang dapat mengalirkan likuiditas pada skala yang lebih besar ke pasar kripto," katanya.
Meskipun reli bullish Bitcoin tidak harus diiringi dengan kebijakan pelonggaran ekonomi AS, mempertimbangkan kondisi dan skala pasar kripto saat ini serta meningkatnya pengaruh AS di pasar membuat dorongan positif tersebut cukup diperlukan.
Optimisme investor masih kuat, didorong ekspektasi bahwa The Fed akan memangkas suku bunga pada September 2025 setelah menahan level suku bunga selama sembilan bulan.
"Perkiraan probabilitas pemangkasan sejauh ini masih bertahan di atas 85% menurut CME FedWatch. Bahkan, lembaga keuangan Jefferies baru saja menaikkan target akhir tahun S&P 500 menjadi 6.600 poin, mencerminkan keyakinan terhadap fundamental laba korporasi yang solid," kata dia.
Baca Juga: Reku Menambahkan Fitur Packs yang Berisi Kurasi Aset Portfolio
Namun demikian, bayang-bayang potensi kenaikan inflasi yang lebih tinggi dari perkiraan masih membayangi. Data inflasi PCE Juli 2025 yang akan dirilis akhir pekan ini diperkirakan naik 0,2–0,3 persen secara bulanan.
"Angka ini, bila sesuai ekspektasi, bisa cukup meyakinkan The Fed untuk memulai penurunan suku bunga secara bertahap. Jika inflasi lebih rendah dari perkiraan Bitcoin berpotensi rebound tajam, dan Wall Street bisa melanjutkan reli ke rekor tertinggi baru," tambahnya.
Jika inflasi ternyata lebih tinggi, pasar bisa tertekan. Bitcoin rentan kembali ke level US$100 ribu, sementara indeks saham AS bisa mengalami koreksi singkat.
Baca Juga: Pasar Saham AS Alami Lonjakan Tajam, Kripto Bakal Menyusul?













