Techverse.asia - Palo Alto Networks, perusahaan keamanan siber AI terkemuka di dunia, telah merilis laporan barunya yang berjudul Unit 42 Extortion and Ransomware Trends untuk periode Januari-Maret 2025.
Laporan ini mengungkapkan bahwa para pelaku ancaman siber terus mengembangkan taktik mereka, berkolaborasi dengan kelompok-kelompok yang didukung negara, dan menggunakan modus pemerasan untuk mendapatkan pembayaran.
Seiring dengan meningkatnya risiko atas ancaman ransomware dan pemerasan yang terus berkembang, sejumlah organisasi di seluruh wilayah Asia Pasifik dan Jepang kerap memprioritaskan postur keamanan mereka, dan banyak diantaranya kini mampu mendeteksi serangan di tahap awal, sebelum penyerang dapat mencapai tujuannya.
Baca Juga: GoPro Hadirkan Alat Penyuntingan 360 Baru ke Aplikasi Quik
Hal ini telah menyebabkan peningkatan kasus respons insiden yang berhasil diatasi pada tahap akses jaringan. Meskipun terdapat kemajuan, kampanye ransomware dan pemerasan tetap berhasil dengan kecepatan yang signifikan.
Dengan menganalisis kasus-kasus insiden respons, para peneliti di Unit 42 Palo Alto Networks menemukan bahwa pelaku ancaman, sebagai balasan, memperkuat taktik mereka dengan menggunakan metode yang lebih agresif untuk menekan korban dan memperoleh pembayaran yang lebih tinggi dan konsisten.
Oleh karena itu, organisasi disarankan untuk harus tetap waspada terhadap tren ransomware dan menerapkan strategi pertahanan berlapis untuk perlindungan guna tetap siap menghadapi serangan tersebut.
"Kami melihat pergeseran nyata di dalam cara pelaku ransomware dan pemerasan beroperasi secara global dan di seluruh wilayah Asia-Pasifik dan Jepang," ujar Vice President dan Managing Partner, Unit 42, Asia Pasifik & Jepang, Palo Alto Networks, Philippa Cogswell.
Baca Juga: Telkom x Palo Alto Networks: Akselerasi Keamanan Siber dan Produk Digital
Menurutnya, para penyerang kini beralih dari taktik enkripsi tradisional ke metode yang lebih agresif dan manipulatif, mencakup klaim palsu, akses ke orang dalam, dan tools yang dapat menonaktifkan kontrol keamanan.
"Taktik-taktik baru dan terus berkembang ini menunjukkan betapa pentingnya bagi organisasi untuk tidak hanya mengandalkan pertahanan reaktif, tetapi juga berinvestasi dalam strategi keamanan yang memberikan visibilitas penuh dan respons cepat di seluruh lingkungan mereka," paparnya.
Melihat pergeseran metode pelaku ransomware dan pemerasan menjadi lebih canggih, wilayah Asia Pasifik dan Jepang serta negara-negara berkembang seperti Indonesia harus tetap waspada dikarenakan adanya berbagai celah keamanan siber yang sistemik.
Menurut Laporan Lanskap Keamanan Siber Indonesia yang diterbitkan oleh Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) pada tahun 2024, total trafik anomali di Indonesia selama tahun 2024 mencapai 330.527.636, dan 514.508 di antaranya berasal dari aktivitas ransomware.
Baca Juga: Akibat Serangan Ransomware, Ribuan Data Pribadi Pelanggan Casio Dibobol
Setelah insiden ransomware berskala besar yang menargetkan infrastruktur penting, Indonesia tengah menyusun Rancangan Undang-Undang Keamanan Siber dan Ketahanan Siber untuk memperkuat tata kelola institusional, memperjelas peran antar lembaga, dan meningkatkan penegakan hukum terhadap tindak kejahatan siber.
Para pelaku industri juga mengadopsi deteksi ancaman berbasis AI untuk meningkatkan pemantauan real-time dan respons cepat terhadap insiden secara signifikan. Hal ini sangat penting, seiring dengan meningkatnya kecepatan, kompleksitas, dan kecanggihan dari serangan ransomware.
Country Manager Indonesia Palo Alto Networks Adi Rusli mengatakan, kelompok ransomware kini beralih dari serangan massal ke serangan yang lebih ditargetkan dan canggih, sehingga menyebabkan kerugian finansial yang lebih serius bagi bisnis.
Baca Juga: PDNS Diserang Ransomware, Wamen Kominfo: "Kita Tidak Gampang Ditakut-takuti"
Perlindungan yang efektif memerlukan pendekatan berbasis platform yang memberikan visibilitas jaringan secara menyeluruh untuk memantau trafik dan memblokir aktivitas mencurigakan, serta dipadukan dengan peninjauan keamanan secara berkala, pelatihan untuk para pegawai, dan rencana tanggap ancaman yang solid.
"Bisnis di Indonesia perlu terus berinvestasi pada teknologi keamanan siber dan membangun fondasi ini dengan peningkatan keamanan yang berkelanjutan serta pemantauan ancaman," imbuhnya.