Techverse.asia - SleekFlow resmi memperkenalkan AgentFlow, yaitu sistem berbasis kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) yang dirancang buat mendukung, bukan menggantikan, peran manusia dalam memberikan layanan untuk pelanggan.
Alih-alih berupaya menjawab seluruh pertanyaan secara otomatis, AgentFlow ini justru fokus untuk mengetahui batas kemampuannya dan menyerahkan kendali sepenuhnya kepada agen manusia di saat yang tepat.
Baca Juga: Bybit Hadirkan Aplikasi Baru untuk Mendukung Miliaran Pengguna Kripto
Pendekatan tersebut berangkat dari hasil riset internal perusahaan terhadap lebih dari 1.100 konsumen di kawasan Asia Tenggara. Sebanyak 75 persen responden menjawab bahwa mereka lebih memilih kecerdasan buatan yang bertugas membantu proses layanan, kalau dibandingkan dengan AI yang berfungsi sebagai pengganti interaksi manusia.
"Kesalahan dalam layanan pelanggan tak selalu bersumber dari teknologi, melainkan dari kegagalan membangun hubungan. Untuk itu, AgentFlow dibuat guna membantu, bukan menggantikan peran manusia sepenuhnya," ujar Vice President and General Manager SleekFlow Asia Tenggara Asnwai Jufrie dalam keterangan resminya kami sadur, Kamis (7/8/2025).
Dalam whitepaper yang berjudul AI Transformation in SEA: Aligning Consumer Demands with Business Goals, SleekFlow menemukan bahwa pelanggan lebih cenderung mengandalkan kecerdasan buatan untuk kebutuhan dasar, seperti layanan rutin atau informasi umum.
Baca Juga: NTT DATA Rilis Layanan Agentic AI untuk Teknologi AI Hyperscale
"Tapi saat menyangkut situasi emosional atau persoalan yang lebih kompleks, interaksi dengan manusia tetap menjadi pilihan yang utama," terangnya.
Fitur utama yang ditawarkan oleh AgentFlow ialah knowledge gap detection yang mampu mendeteksi saat kecerdasan buatan tidak yakin dan berhenti memberi sebuah jawaban. Di samping itu, ada reviewer agents yang akan meninjau ulang sebelum respons dikirim ke pengguna supaya menghindari kesalahan informasi.
Guardrails juga disematkan guna menjaga kecerdasan buatan tetap dalam konteks yang sesuai. Apabila percakapan menyentuh isu yang sensitif, sistem bakal langsung mengalihkan penanganan ke agen manusia. SleekFlow menandaskan bahwa AgentFlow tidak melatih model AI dengan data pelanggan.
"Sistem tersebut sudah dilengkapi dengan beberapa perlindungan tambahan seperti kontrol akses, IP whitelisting, hingga masking informasi yang sensitif guna menjaga privasi serta integritas data para pengguna," ujarnya.
Baca Juga: Yellow.ai Meluncurkan Komodo-7B, LLM Pertama di Indonesia yang Dilatih 11 Bahasa Daerah
Menurut dia, kepercayaan itu tumbuh ketika kita tahu batas kemampuan kita. Dia percaya bahwa teknologi kecerdasan buatan yang dapat dipercaya adalah AI yang tahu kapan harus berhenti dan memberi ruang untuk manusia.
Di tengah absennya regulasi global yang komprehensif mengenai penggunaan AI, SleekFlow memilih untuk mengutamakan pendekatan yang etis dan bertanggung jawab. Berdasarkan laporan AI Maturity Matrix yang diterbitkan oleh Boston Consulting Group (BCG), lebih dari 70 negara termasuk Indonesia belum punya kesiapan struktural yang memadai dalam menghadapi disrupsi AI.
Tantangan itu termasuk kebijakan, investasi jangka panjang, dan penguasaan ketrampilan digital. Laporan yang sama juga mencatat bahwa penggunaan kecerdasan buatan secara kolaboratif justru lebih efektif. Konsultan BCG yang memakai AI generatif dalam proyek nyata terbukti 20 persen lebih baik performanya pada tugas di luar keahlian mereka.
Baca Juga: Pakar Bilang Kecerdasan Buatan Enggak akan Sepenuhnya Gantikan Manusia
Temuan-temuan tersebut berkelindan dengan keyakinan SleekFlow bahwa AI yang bertanggung jawab harus memberi ruang kepada supervisi dan tetap dikontrol oleh manusia. AgentFlow diposisikan sebagai respons atas tantangan itu, dengan menjadikan etika sebagai fondasi utama pengembangan teknologi.
Arsitektur AgentFlow sendiri dibangun di atas platform Azure milik OpenAI dan telah memenuhi standar keamanan internasional seperti ISO/IEC 27001, SOC 2 Type II, dan GDPR di Uni Eropa (UE). "AgentFlow lahir bukan menggantikan manusia, tapi kami mau membangun masa depan kolaboratif, di mana AI jadi mitra yang mengerti kapan waktunya berhenti dan membiarkan manusia untuk ambil alih," tambahnya.













