Techverse.asia - DoubleVerify meluncurkan laporan komprehensifnya terhadap media sosial yang bertajuk 2025 Global Insights: How Consumers and Marketers Use Walled Gardens. Laporan ini menyorot peran sentral influencer media sosial dalam membentuk keputusan belanja, menandai dominasi yang kian kuat dari platform digital, atau 'Walled Gardens', di Indonesia dan di dunia.
Dalam laporan tersebut, DV menyajikan wawasan yang didasarkan pada survei mendalam terhadap 22 ribu konsumen dan 1.970 pemasar global, termasuk Indonesia. DV mencatat bahwa media sosial memiliki peran krusial dalam memengaruhi keputusan pembelian yang bersangkutan terhadap alokasi waktu konsumen di pasar yang dinamis ini.
Baca Juga: ASICS Hadirkan Sepatu Padel Sonicsmash FF, Ringan dan Terasa Lebih Lincah
CEO DoubleVerify Mark Zagorski,menyatakan bahwa daya tarik beriklan di platform media sosial terletak pada kemampuan mereka memadukan komunitas, hiburan, dan pengalaman yang personal. Seiring pengiklan meningkatkan investasi di seluruh platform ini, mereka juga menuntut efektivitas dan akuntabilitas campaign.
"Kesimpulan dari Laporan Global Insights kami menjadi sangat jelas: meskipun walled gardens menjanjikan skala dan kinerja, nilai berkelanjutannya pada akhirnya bergantung pada transparansi dan kepercayaan," ujarnya.
Data dari laporan DoubleVerify menyoroti bahwa media sosial di Indonesia telah menjadi saluran transaksi yang signifikan bagi konsumen. Fenomena ini bahkan melampaui rata-rata kawasan Asia Pasifik (APAC). Sebanyak 52% konsumen Indonesia melaporkan telah melakukan pembelian melalui saluran media sosial dalam 12 bulan terakhir, berbanding dengan 40% di APAC.
Untuk riset sebelum pembelian, 38% konsumen Indonesia menjadikan media sosial sebagai salah satu dari tiga alat riset utama mereka. Mereka mengandalkan online reviews (64%) dan menonton video reviews (55%) sebagai sumber utama informasi.
Baca Juga: Survei Populix: TikTok Shop Jadi Social Commerce Terpopuler di Indonesia
Platform yang paling sering digunakan mingguan adalah Youtube (90%), Instagram (78%), dan Facebook (72%), menunjukkan adopsi media sosial yang sangat tinggi. Konsumen Indonesia paling banyak dipengaruhi oleh Mega Influencers (>1 juta pengikut) dan Macro Influencers (100K–1 juta pengikut) dimana masing-masing 61% dan 63% konsumen menyatakan terpengaruh dalam keputusan pembelian mereka.
Meskipun media sosial menawarkan potensi jangkauan dan transaksi yang luar biasa, para pengiklan menghadapi tantangan pengukuran yang ketat. Sebanyak 66% pengiklan di kawasan APAC menyatakan khawatir terhadap Brand Safety and Suitability penempatan iklan sosial, sementara kekhawatiran pengiklan di SEA mencapai 52%.
Hal ini menunjukkan bahwa pengiklan di Asia Tenggara semakin menyadari bahwa Brand Safety merupakan tantangan serius dan semakin meningkat di pasar mereka sendiri. Kendala utama yang dihadapi pengiklan di Asia Tenggara adalah mencapai audiens target yang spesifik (48%). Kendala lain yakni mencakup mengikuti trend konten di sosial media (42%) dan menghitung ROAS/ROI (40%).
Meskipun demikian, pengiklan SEA menunjukkan keyakinan yang meningkat dalam dua tahun terakhir terhadap YouTube (85%) dan Instagram (70%). Prioritas periklanan untuk kedua platform cenderung berfokus pada tahap Upper Funnel atau Awareness, yang menyumbang 48% dari pengeluaran di YouTube dan 36% di Instagram.
Baca Juga: Survei Impact.com x Cube Asia: Influencer Berperan Signifikan dalam Mempengaruhi Konsumen
Menanggapi hal ini, Theodorus Caniggia, Senior Enterprise Sales Director DoubleVerify di Indonesia, menekankan peran pengukuran independen dalam pasar yang dinamis ini. Indonesia adalah pasar mobile-first dan social-first yang unik, di mana walled gardens menjadi pendorong utama ekonomi digital.
"Namun seiring dengan bertambahnya peluang besar dalam hal ini, kompleksitas algoritma dan reach menuntut akuntabilitas yang tinggi," katan Theodorus.
Theodorus menambahkan bahwa tingginya volume konten yang dihasilkan pengguna dan munculnya deepfake berbasis AI di platform video dan sosial telah memperburuk risiko brand safety.
Para marketer tidak bisa lagi mengandalkan metrik internal platform, karena analisis DV menunjukkan bahwa tanpa verifikasi pihak ketiga, risiko eksposur brand pada konten user-generated yang tidak sesuai atau berbahaya meningkat secara eksponensial, yang dapat merusak kepercayaan konsumen yang telah terbangun oleh brand.













