Techverse.asia - Baru-baru ini masyarakat kembali dihantui oleh modus kejahatan online yang mengatasnamakan Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak/DJP). Kali ini, korban mendapatkan pesan WhatsApp dengan format mengunduh aplikasi (APK).
Berkembangnya modus penipuan online menimbulkan keresahan akibat pencurian dan penyalahgunaan data pribadi. Data masyarakat yang dicuri bisa beragam, mulai dari informasi pribadi hingga informasi perbankan dan keuangan lainnya yang bersifat rahasia.
Menanggapi hal ini, Genesha Nara Saputra, Head of Payment Information Security GoTo Financial, mengatakan bahwa modus penipuan digital terus berkembang dan juga memanfaatkan momentum. Banyak modus yang dilakukan oleh penipu untuk mendapatkan korban baru.
“Oknum penipu terus mengambil kesempatan, contohnya berkedok kurir paket, tagihan BPJS, undangan pernikahan. Bahkan kasus baru-baru ini terjadi berdekatan tenggat waktu pelaporan SPT tahunan, penipu berdalih mengirimkan dokumen pajak,” ujarnya, Rabu (8/3/2023).
Baca Juga: Redmi Punya Smartphone Entry Level Murah Terbaru: 12C dan 12 Note 4G
Menurut Genesha, walaupun modusnya baru, tetapi penjahat siber tetap menggunakan teknik lama modus penipuan rekayasa sosial (social engineering). Penipu tidak menyerang sistem keamanan aplikasi maupun psikologis si korban, tapi membuat korban agar yakin bahwa mereka mendapatkan suatu hadiah atau iming-iming menarik lainnya.
“Penipuan online ini tidak menyerang sistem keamanan, namun psikologis manusia. Ciri-cirinya, penipu akan meyakinkan korban dengan cara dibuat senang karena menang undian, ataupun ketakutan karena penipu menyamar menjadi pihak berwenang. Jadi, masyarakat tetap harus waspada agar tidak terjebak,” katanya.
Menurut data yang dihimpun oleh Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) kejahatan siber yang terjadi di Indonesia mencapai 100 juta hingga April 2022 dan didominasi oleh modus meminta tebusan seperti ransomware atau malware, phishing, dan eksploitasi kerentanan. Meskipun begitu, tingginya tingkat kejahatan siber di Indonesia masih belum diikuti dengan tingkat literasi digital yang memadai.
Survei Status Literasi Digital Indonesia 2022 yang dilakukan Kementerian Kominfo menunjukkan indeks Keamanan Digital (3,12) masyarakat Indonesia menjadi yang paling rendah di antara pilar-pilar lainnya yaitu Kecakapan Digital (3,52), Etika Digital (3,68), dan Budaya Digital (3,84). Menyadari hal ini, ia menekankan menjaga keamanan di dunia siber bukanlah tanggung jawab satu pihak saja.
“Manfaat transaksi digital telah kita rasakan bersama. Upaya mewujudkan transaksi digital yang aman itu perlu dilakukan bersama, dari sisi penyedia platform digital maupun pengguna,” ujarnya.
Editor : Rahmat Jiwandono