Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu wilayah dengan tumbuhan kelor yang cukup banyak di Indonesia.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Budi Gunadi Sadikin, meminta pemerintah daerah NTT meneliti kelor dengan serius. Pasalnya, kelor diketahui kaya akan gizi.
Budi mengatakan, selama ni kelor menjadi makanan tradisional dan tanaman herbal Indonesia. Ia ingin menjadikan kelor sebagai tanaman herbal terbaik khas Indonesia, sebagaimana ginseng dari Korea.
"Saya ingin mengimbangi seperti ginseng-nya Korea, disusun penelitian yang serius untuk masuk dunia internasional," terangnya, dikutip dari laman Kementerian terkait, Kamis (9/3/2023).
Tumbuhan kelor memiliki daun, biji, dan akar yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Kelor telah lama dikenal sebagai tanaman obat yang berkhasiat.
Daun kelor kaya akan nutrisi, seperti protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, dan zat besi. Bahkan, diketahui kalau kandungan zat besi pada daun kelor dinyatakan 25 kali lebih tinggi dari bayam. Oleh karena itu, daun kelor sering digunakan sebagai bahan makanan atau suplemen nutrisi, untuk membantu mencegah atau mengatasi berbagai penyakit.
Selain daunnya, biji kelor juga memiliki banyak manfaat. Biji kelor mengandung minyak atsiri, yang dapat digunakan sebagai bahan bakar nabati. Selain itu, minyak biji kelor juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan kosmetik atau obat-obatan.
Kelor atau Moringa oleifera ini cukup populer di NTT, karena memiliki banyak manfaat bagi kesehatan dan ekonomi masyarakat setempat. Daun kelor di NTT biasanya diolah menjadi sayur atau lalapan, yang diolah dengan bumbu khas NTT.
Di samping itu, kelor juga memiliki potensi sebagai sumber pangan alternatif, untuk mengatasi masalah kelaparan di daerah-daerah terpencil di NTT. Kandungan nutrisi yang tinggi pada kelor, seperti protein, vitamin, dan mineral, dapat membantu mengatasi kekurangan gizi dan memenuhi kebutuhan nutrisi masyarakat setempat.
"Jadi kita akan menjadikan kelor sebagai salah satu makanan tradisional dan herbal Indonesia, kita akan riset secara formal. Kita dukung risetnya supaya bisa diterima di kalangan internasional," tutur Budi.
Editor : Uli Febriarni